Liverpool kala itu via 3.bp.blogspot.com |
Perasaan hampir frustasi (atau mungkin sudah
frustasi?) tengah menimpa ‘’The Kop’’,
sapaan akrab para pecinta klub sepak bola yang bernama sama dengan kotanya,
Liverpool. Beberapa tahun terakhir, klub ini kerap menjadi bahan cibiran
terpopuler di perkancahan ’si kulit bundar’. Hal itu tak lepas dari imbas
terseoknya prestasi klub yang pernah menjadi yang terbaik sejagat ini. Alih-alih
pertama kali mengangkat trofi English
Premier League, bersaing meraih posisi kompetisi sepertiga malam (Champions League) pun seperti mimpi. Tak
pelak, label ‘medioker’ pun perlahan melekat.
Era 70-80an adalah masa kejayaan mereka –ups, sudah
lama sekali, ya, lama- paling tidak, satu dekade yang lalu, tim ini masih
diperhitungkan dan menjadi tim yang ditakuti. Sekarang? Tim papan bawah pun
berharap setiap pekan mereka bertemu Liverpool agar lolos dari jurang
degradasi, karena ”The Reds” kini
dikenal sebagai tim yang baik, dengan kegemaran membagikan poin cuma-cuma
kepada tiap tim dalam table 20, tanpa terkecuali.
Apa yang sebenarnya terjadi pada klub yang identik dengan “You’ll Never Walk Alone” nya ini –belakangan banyak plesetannya- ? Para fans, analisis dan komentator lapangan hijau telah banyak menerka permasalahan yang terjadi mengapa prestasi Liverpool surut. Dari mulai manajemen yang buruk, misal kebijakan transfer, sampai yang terbaru malah semena menaikkan harga tiket ditengah performa labil. Dari sisi teknis, selain selama sewindu terakhir belum menemukan arsitek berkarakter kuat (sebelum kedatangan Klopp) yang bisa mengangkat mental jawara, Liverpool, tidak pernah mempunyai skuat lengkap nan komplit yang bisa memenangi trofi. Selalu ada titik lemah mencolok, dari lini depan, tengah sampai belakang bergantian mengerang kegagalan.
Dalam satu waktu terdapat satu sampai 3 pemain bintang,
bukannya menambah untuk melengkapi, malah membuang satu bintang untuk mendapatkan
sececer pemain medioker. Bisa dilihat sekarang, coba sebutkan siapa yang layak
jika ada orang yang berbicara tentang Liverpool, siapa pemain yang harus selalu
disebut? Laiknya Cristiano Ronaldo di Real Madrid dan Lionel Messi di
Barcelona, atau jika terlalu jauh paling tidak Eden Hazard di Chelsea.
Coutinho? Khawatir cepat atau lambat dia pasti berfikir akan nasib pribadinya,
daripada mengorbankan karir potensialnya di klub yang stack, lebih baik dia berkembang sampai puncak dengan raihan gelar
di klub yang lebih besar.
Asa itu masih ada via 4.bp.blogspot.com
Rasanya tak cukup dalam satu judul blog untuk membahas
klub dengan warna paten merah ini. Terlalu banyak, sebanyak harapan kami para
penikmat permainan sebelas lawan sebelas untuk kejayaan klub kesayangan. Biar
bagaimanapun, kalah, menang, senang, kesal, ujung-ujungnya jika ada Liverpool,
kita akan menyediakan waktu khusus untuk menontonnya. Jika rasanya musim ini
telah berakhir –atau kalian masih percaya Liverpool berjaya di Wembley akhir
Februari nanti?-, seperti yang sudah-sudah, ‘masih ada musim depan’.
Menyerah dalam berharap bukanlah pilihan bagi kita
yang sudah terasah berada dibawah. Tetap percaya, mungkin takdir baik belum
menghampiri, setidaknya kita nikmati saja alunan “heavy metal” yang buat jantung berdebar acapkali Liverpool lakukan
pertandingan. Semoga.
Come on you
mighty reds! #YNWA
|